Mengapa Tingkat Literasi di Indonesia dan Pakistan Masih Rendah? Menguak Akar Permasalahan dan Solusinya

Tangan memegang buku dengan peta dunia menyoroti Indonesia dan Pakistan, simbol rendahnya literasi global

Bagikan

Daftar Isi

Indonesia dan Pakistan, dua negara dengan latar belakang budaya yang kaya dan masyarakat yang ramah, ternyata memiliki tantangan serupa: rendahnya budaya literasi. Meskipun memiliki persentase melek huruf yang cukup tinggi di Indonesia, dan sekitar 60% di Pakistan, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan memahami dan menerapkan informasi masih menjadi pekerjaan rumah.

Literasi Lebih dari Sekadar Membaca Buku

Seringkali, literasi disalahartikan hanya sebatas kemampuan membaca. Padahal, literasi memiliki cakupan yang lebih luas, meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, serta memahami dan menanggapi berbagai jenis teks dan konteks informasi. Ini berarti, seseorang yang melek huruf belum tentu memiliki kecerdasan literasi yang memadai untuk berpikir kritis dan membuat keputusan bijak.

Studi PISA 2022 menunjukkan bahwa banyak siswa Indonesia kesulitan memahami bacaan sederhana, meskipun tingkat melek huruf di Indonesia mencapai lebih dari 96%. Di Pakistan, tantangannya lebih berat dengan tingkat melek huruf nasional sekitar 60%, ditambah lagi dengan kesulitan akses pendidikan bagi perempuan di daerah pedesaan dan anak-anak yang terpaksa bekerja sejak usia dini. Angka-angka ini mencerminkan banyak mimpi yang tertunda akibat rendahnya literasi.

Faktor-faktor Penyebab Rendahnya Tingkat Literasi

Ada beberapa akar permasalahan yang berkontribusi terhadap rendahnya tingkat literasi di Indonesia dan Pakistan:

  1. Akses Pendidikan yang Tidak Merata:
    • Di daerah terpencil, sekolah masih sulit dijangkau. Banyak anak di Indonesia harus menempuh jarak berkilo-kilometer untuk mencapai sekolah.
    • Di Pakistan, situasi lebih ekstrem, di mana sekolah khusus perempuan seringkali dianggap ancaman oleh kelompok-kelompok tertentu.
  2. Kemiskinan dan Prioritas Ekonomi:
    • Banyak keluarga miskin melihat pendidikan sebagai sebuah kemewahan yang mahal. Mereka lebih memilih menyuruh anak-anaknya bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, daripada membiarkan mereka duduk di bangku sekolah atau memegang buku.
  3. Kurangnya Budaya Membaca:
    • Masyarakat modern cenderung lebih akrab dengan media digital seperti menonton video, mendengarkan audio, atau “scrolling” media sosial.
    • Membaca seringkali dianggap sebagai tugas di sekolah, bukan sebagai kebiasaan yang menyenangkan dan bermanfaat untuk pengembangan diri.
  4. Ketimpangan Gender:
    • Di Pakistan, budaya patriarki masih sangat kental, menghambat akses pendidikan bagi banyak perempuan.
    • Meskipun Indonesia lebih terbuka, ketimpangan akses pendidikan bagi perempuan masih terasa di beberapa wilayah tertentu.

Kecerdasan Literasi: Harapan Masa Depan Bangsa

Pendidikan sejatinya tidak hanya tentang nilai di rapor atau selembar ijazah. Lebih dari itu, pendidikan adalah proses pengembangan kemampuan berpikir, memahami persoalan, dan mengambil keputusan secara bijak. Dalam konteks ini, literasi menjadi kunci utama untuk mencapai tujuan tersebut.

Sebagai generasi muda di era digital, kita memiliki peran penting. Sudah saatnya kita menyalakan kembali semangat membaca, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk lingkungan sekitar di Indonesia dan Pakistan. Dengan meningkatkan kecerdasan literasi, kita turut membangun fondasi yang kuat bagi kemajuan bangsa. Mari bergerak bersama untuk menjadikan literasi sebagai budaya yang membudaya!

DAFTAR PUSTAKA 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Tidak ada postingan lagi untuk ditampilkan
Tangan memegang buku dengan peta dunia menyoroti Indonesia dan Pakistan, simbol rendahnya literasi global

Related Post

Lihat Artikel Lainnya