Pendahuluan
Pakistan dan Indonesia adalah dua negara Muslim terbesar di dunia yang memiliki sejarah panjang mengenai peran militer dalam politik. Kedua negara lahir dari perjuangan melawan penjajahan, dan sejak awal kemerdekaan, militer di masing-masing negara memainkan peran penting dalam membentuk arah politik nasional. Meskipun sama-sama memiliki latar belakang perjuangan, dinamika peran militer dalam politik Pakistan dan Indonesia memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok. Artikel ini membahas bagaimana militer di kedua negara masuk ke ranah politik, persamaan dan perbedaannya, serta dampaknya terhadap perkembangan demokrasi.
Militer dan Politik di Awal Kemerdekaan
Di Pakistan, sejak kemerdekaan pada 1947, militer segera menjadi pilar utama stabilitas nasional. Konflik dengan India, khususnya terkait wilayah Kashmir, memperkuat posisi angkatan bersenjata sebagai penjaga kedaulatan negara. Lemahnya kepemimpinan sipil pada masa awal kemerdekaan membuat militer mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat. Situasi ini berpuncak pada kudeta pertama pada 1958, ketika Jenderal Ayub Khan mengambil alih kekuasaan. Sejak saat itu, militer beberapa kali memerintah negara secara langsung, termasuk di bawah Jenderal Yahya Khan, Zia-ul-Haq, dan Pervez Musharraf.
Sebaliknya, di Indonesia, militer juga memiliki posisi kuat sejak proklamasi kemerdekaan pada 1945. Tentara Nasional Indonesia (TNI) lahir dari perjuangan rakyat melawan kolonialisme. Militer tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan, tetapi juga dalam menjaga keutuhan bangsa menghadapi ancaman disintegrasi. Peran politik militer mulai menonjol saat Indonesia mengalami pergolakan internal pada 1950-an hingga 1960-an. Setelah peristiwa G30S 1965, Jenderal Soeharto mengambil langkah politik yang memanfaatkan dinamika saat itu untuk memperkuat posisinya, sehingga lahirnya Orde Baru dengan militer sebagai tulang punggung pemerintahan selama lebih dari tiga dekade.
Kudeta dan Intervensi Militer
Pakistan dikenal sebagai negara dengan sejarah kudeta militer yang berulang. Selain Ayub Khan, kudeta dilakukan oleh Jenderal Yahya Khan (1969), Jenderal Zia-ul-Haq (1977), dan Jenderal Pervez Musharraf (1999). Militer secara terbuka mengambil alih pemerintahan sipil dengan alasan menjaga stabilitas negara. Selama pemerintahan militer, kebebasan sipil seringkali dikurangi dan peran parlemen dilemahkan.
Indonesia tidak mengalami kudeta terbuka seperti Pakistan. Namun, militer memperkuat pengaruhnya melalui integrasi dalam struktur pemerintahan, terutama di masa Orde Baru. Sistem dwi fungsi ABRI menjadikan militer sebagai kekuatan utama baik di bidang pertahanan maupun politik.
Dominasi Militer dan Demokrasi
Dominasi militer dalam politik Pakistan sering menjadi tantangan bagi perkembangan demokrasi. Meski pemilu tetap dilaksanakan, pemerintahan sipil sering berada di bawah bayang-bayang militer. Keputusan strategis, terutama terkait keamanan nasional dan kebijakan luar negeri, tetap dikendalikan militer. Hal ini membuat transisi kekuasaan ke pemerintahan sipil sering tidak tuntas dan demokrasi berjalan rapuh.
Di Indonesia, dominasi militer dalam politik berakhir secara formal setelah jatuhnya Soeharto pada 1998. Reformasi politik menghapus dwi fungsi ABRI, menarik TNI dari politik praktis, dan memperkuat supremasi sipil. Meski demikian, pada beberapa isu strategis seperti penanganan terorisme atau pembangunan proyek tertentu, pengaruh militer masih terasa.
Persamaan Peran Militer di Kedua Negara
Peran militer dalam politik di Pakistan dan Indonesia memiliki beberapa persamaan:
Militer lahir dari perjuangan kemerdekaan dan memperoleh legitimasi sebagai penjaga negara.
Militer memasuki ranah politik dengan alasan menjaga stabilitas nasional.
Kedua negara mengalami dominasi militer dalam periode panjang yang menghambat demokrasi berkembang secara penuh.
Perbedaan Utama Peran Militer
Perbedaan utama terletak pada bentuk intervensi:
Di Pakistan, intervensi militer dilakukan melalui kudeta langsung yang berulang. Militer secara eksplisit memerintah negara dalam beberapa periode.
Di Indonesia, militer masuk ke politik melalui jalur institusional, bukan kudeta terbuka. Militer diintegrasikan ke pemerintahan melalui sistem dwi fungsi.
Selain itu, transisi demokrasi di kedua negara berbeda. Indonesia berhasil melewati transisi dengan relatif damai, sementara Pakistan masih menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan kekuasaan sipil dan militer.
Dampak Peran Militer terhadap Masyarakat dan Tata Kelola Negara
Dominasi militer di Pakistan membuat pembangunan demokrasi sering tersendat. Hak-hak sipil dikorbankan atas nama stabilitas, sementara kebebasan pers dan politik dibatasi. Lembaga-lembaga sipil menjadi lemah dan rentan terhadap krisis politik.
Di Indonesia, meski Orde Baru membatasi kebebasan politik, reformasi membawa angin segar bagi demokrasi. Sistem multipartai berkembang, kebebasan pers terjamin, dan partisipasi politik masyarakat meningkat pesat setelah 1998.
Masa Depan Peran Militer dalam Politik
Upaya memperkuat demokrasi di Pakistan masih menghadapi hambatan besar. Militer tetap menjadi kekuatan dominan dalam isu strategis, terutama keamanan dan kebijakan luar negeri. Banyak pihak berharap ada pembenahan serius untuk memperkuat supremasi sipil.
Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam menarik militer dari politik praktis. Tantangan ke depan adalah memastikan TNI tetap netral dalam politik dan menjaga profesionalisme di bidang pertahanan.