Pesantren dan Tradisi Pendidikan Islam: Dari Dars-e-Nizami hingga Nusantara

Pesantren dan Tradisi Pendidikan Islam: Dari Dars-e-Nizami hingga Nusantara

Madrasah klasik di India sebagai pusat lahirnya Dars-e-Nizami

Bagikan

Islam bukan hanya agama yang menata ibadah, melainkan juga sebuah peradaban besar yang membawa ilmu pengetahuan, filsafat, seni, dan tradisi intelektual. Sejak abad ke-7 M, Islam hadir di pesisir Malabar (India Selatan) melalui jalur perdagangan yang menghubungkan India, Sri Lanka, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Banyak orang mengira bahwa Islam hanya masuk ke Nusantara lewat dakwah dan perdagangan. Padahal, sejak awal kedatangannya, Islam sudah membawa tradisi ilmu yang matang. Para saudagar Arab tidak hanya menjual barang dagangan, tetapi juga membawa fiqh, tafsir, hadis, dan tradisi intelektual Islam klasik.


Kesultanan Delhi dan Mazhab Hanafi

Puncak pengaruh Islam di Asia Selatan terlihat jelas pada masa Kesultanan Delhi (1206–1526 M). Di masa ini, Islam tidak hanya mengatur ibadah, melainkan juga membangun institusi pendidikan Islam yang kuat. Para penguasa Delhi menganut mazhab Hanafi, sebuah mazhab yang dikenal rasional dan sistematis dalam pengembangan hukum Islam.

Dengan dukungan politik, lahir banyak madrasah yang melahirkan ulama besar, qadhi, dan mufti. Karya monumental seperti Fatwa Alamgir, Fatawa TatarKhaniyyah, dan Fawaid Firozshahiyah menjadi bukti kekuatan hukum Islam pada masa itu.

Tokoh penting pada era ini adalah Syekh Burhanuddin Balkhi, murid dari penulis Al-Hidayah, Burhanuddin al-Marghinani. Melalui beliau lahir sistem kurikulum yang kemudian disempurnakan dalam bentuk Dars-e-Nizami.

Madrasah klasik di India sebagai pusat lahirnya Dars-e-Nizami

Dars-e-Nizami: Kurikulum Pendidikan Islam Klasik

Dars-e-Nizami disusun oleh Mulla Nizamuddin Sahalwi pada abad ke-18. Kurikulum ini adalah silabus pendidikan Islam klasik yang menyatukan ilmu bahasa, hukum syariah, logika, filsafat, hingga tasawuf.

Tiga pilar utama Dars-e-Nizami adalah:

  1. Lisaniyyat (Bahasa)

    • Fokus pada nahwu, sharaf, balaghah, dan sastra Arab.

    • Tujuan: santri mampu memahami dan menafsirkan teks klasik dengan tepat.

  2. Diniyyat (Agama)

    • Meliputi Qur’an, tafsir, hadis, fiqh, dan ushul fiqh.

    • Kitab penting: Matan Quduri, Al-Hidayah, dan Kutub Sittah.

  3. Ma’qulat (Rasionalitas)

    • Meliputi logika, filsafat, matematika, dan sastra Parsi.

    • Santri dilatih untuk berpikir kritis, berdiskusi, dan bernalar hukum.

Hasilnya adalah ulama yang faqih sekaligus cendekiawan, mampu berdialog lintas ilmu.


Jejak Dars-e-Nizami di Nusantara: Pesantren

Ketika Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13, tradisi pendidikan Islam ikut terbawa. Pesantren salaf di Jawa, Madura, dan daerah lain mencerminkan warisan kurikulum klasik Asia Selatan.

Kitab kuning menjadi inti pembelajaran:

  • Tingkat dasar: Jurumiyah, Mabadi Fiqhiyah, Ta’lim al-Muta’allim.

  • Tingkat menengah: Fathul Qarib, Tijanu Duror.

  • Tingkat lanjut: Alfiyah Ibnu Malik, Umdatul Salik, Ihya Ulumuddin.

Kesamaan paling mendasar dengan tradisi Asia Selatan adalah:

  • Penekanan pada gramatika Arab sebagai kunci ilmu.

  • Penggunaan kitab klasik sebagai otoritas keilmuan.

Dengan demikian, pesantren di Indonesia adalah bagian dari jaringan peradaban Islam global dari Baghdad, Delhi, hingga Malabar.


Pesantren di Era Modern: Tradisi dan Transformasi

Saat ini, pesantren sering disebut tradisional karena masih mengajarkan kitab kuning. Namun, tradisi tersebut adalah kanon intelektual Islam yang sejajar dengan karya Aristoteles dalam filsafat Barat atau Konfusius dalam tradisi Tiongkok.

Banyak pesantren modern telah berhasil memadukan:

  • Kitab klasik dengan ilmu-ilmu umum.

  • Kajian tradisional dengan teknologi digital.

  • Tradisi keilmuan dengan literasi modern.

Dengan begitu, pesantren tetap kokoh menjaga tradisi sekaligus relevan menghadapi zaman.


Kesimpulan

Pesantren bukan sekadar lembaga lokal, melainkan benteng peradaban Islam. Ia menjaga kesinambungan ilmu sejak abad pertengahan hingga kini. Dari Malabar ke Delhi, dari Baghdad ke Gresik, pesantren membuktikan bahwa Islam tumbuh bukan dengan menolak peradaban, tetapi dengan mengolah dan mengislamisasinya.

Pesantren di Nusantara adalah warisan global yang hidup, mencetak ulama, mendidik umat, dan membangun peradaban berbasis ilmu.

Referensi

1. Zaman, Muhammad Qasim (Januari 2014). “Pendidikan Agama dan Retorika Reformasi: Madrasah di India Britania dan Pakistan”. Studi Perbandingan dalam Masyarakat dan Sejarah

2. Situs https://darsenizami.net/

3. “Profil Wifaq ul Madaris Al-Arabia, Pakistan”. 23 Oktober 2007. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Juli 2012.

4. Situs https://www.wifaqulmadaris.org/

Ayo Menelusuri