Krisis Air Pakistan Mengerikan: Ancaman Kekeringan, Pangan, dan Konflik Regional

Artikel Terbaru

Tidak ada postingan lagi untuk ditampilkan
Waduk Tarbela atau Mangla yang mengering di Pakistan menunjukkan krisis air parah

Pakistan kini menghadapi salah satu krisis air terparah dalam sejarahnya, sebuah situasi genting yang dipicu oleh kombinasi faktor iklim, infrastruktur, dan ketegangan geopolitik dengan India. Penurunan drastis volume air dari sungai-sungai utama—Indus, Jhelum, dan Chenab—yang secara geografis bersumber dari wilayah India, telah memicu kekhawatiran meluas di seluruh negeri. Dampaknya terasa dari ladang pertanian hingga pasokan air minum domestik, mengancam ketahanan pangan dan stabilitas nasional.

Defisit Air Kronis: Waduk Kritis dan Ancaman Kekeringan

Data dari Otoritas Pengelola Sungai Indus (IRSA) menunjukkan bahwa Pakistan menerima penurunan aliran air hingga lebih dari 35% dibandingkan rata-rata tahunan. Kebutuhan domestik dan pertanian yang tinggi memaksa pemerintah menguras bendungan dan waduk melebihi volume air yang masuk, sebuah kondisi yang tidak berkelanjutan.

Situasi ini menempatkan dua waduk vital negara, Mangla dan Tarbela, di ambang “dead level”. Ini adalah titik kritis di mana cadangan air nyaris tidak dapat mengalir secara alami. Jika ambang ini terlampaui, air hanya dapat dikeluarkan dengan pompa, yang sangat terbatas jangkauan dan efektivitasnya.

Pada hari Rabu lalu, IRSA mencatat defisit 11.180 cusecs, dengan aliran masuk 241.611 cusecs dan pengeluaran 252.791 cusecs. Ketidakseimbangan ini sangat mengkhawatirkan, mengingat sebagian besar sistem irigasi di provinsi Sindh dan Punjab bergantung pada pelepasan air dari kedua waduk ini. Tanpa pasokan yang memadai, komoditas pangan utama seperti padi, gandum, dan kapas, yang merupakan tulang punggung ekonomi Pakistan, berada dalam ancaman besar.


Dampak Mengerikan pada Sektor Pertanian dan Pangan Nasional

Krisis air secara langsung menghantam sektor pertanian, yang menyumbang hampir 20% PDB Pakistan dan mempekerjakan lebih dari 40% tenaga kerja. Ribuan petani di Punjab dan Sindh melaporkan gagal panen akibat kelangkaan air irigasi, sementara masyarakat pedesaan semakin kesulitan mengakses air bersih.

Musim tanam kharif, periode krusial bagi produksi pangan nasional, terancam serius. Provinsi Punjab hanya menerima 114.600 cusecs air irigasi, turun tajam sekitar 20% dari tahun sebelumnya. IRSA memperingatkan potensi kekurangan air sebesar 21% pada fase awal musim kharif (1 Mei–10 Juni) dan sekitar 7% pada paruh akhir musim.

Penundaan musim hujan monsun hingga akhir Juni dan suhu ekstrem yang meningkatkan penguapan semakin memperparah kehilangan cadangan air. Tanpa langkah mitigasi yang cepat, musim tanam kharif tahun ini bisa menjadi salah satu yang terburuk dalam sejarah pertanian modern Pakistan, berujung pada krisis pangan dan ekonomi yang lebih dalam.


Geopolitik Air: Konflik dengan India dan Masa Depan Perjanjian Indus Waters

Selain faktor iklim, krisis air Pakistan diperparah oleh dinamika geopolitik yang memanas dengan India. Implementasi Indus Waters Treaty (IWT)—perjanjian bilateral vital yang mengatur pengelolaan air lintas batas sejak 1960—kini terhenti.

Sejak insiden serangan di Pahalgam, Jammu & Kashmir pada April 2025, India secara sepihak menghentikan berbagi data aliran air harian, menunda inspeksi bersama, dan membatasi komunikasi antarlembaga teknis. Kementerian Jal Shakti India menegaskan penghentian kerja sama akan berlanjut hingga Pakistan “mengambil tindakan serius untuk menghapus dukungan terhadap teror lintas batas.” Sikap ini mengubah IWT dari perjanjian teknis menjadi instrumen politik, menciptakan ketidakpastian besar bagi Pakistan.

Lebih lanjut, India dilaporkan sedang mengkaji proyek bendungan baru di Sungai Chenab, yang jika terealisasi, akan meningkatkan kapasitas penampungan air India hingga 150 meter kubik per detik. Meskipun India berdalih sesuai IWT, Pakistan menganggap ini sebagai agresi struktural terhadap hak airnya.


“Weaponizing Water”: Ancaman Konflik Regional dan Desakan Diplomatik

Pemerintah Pakistan telah menyatakan bahwa penghentian aliran air dari hulu oleh India merupakan tindakan yang dapat diklasifikasikan sebagai “potensi agresi” atau bahkan “act of war”. Islamabad menyebut kebijakan sepihak India sebagai ancaman langsung terhadap keberlanjutan hidup 240 juta penduduk Pakistan.

Pakistan telah mengajukan seruan resmi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan forum multilateral lainnya, menuntut intervensi diplomatik agar India kembali pada komitmen IWT. Mantan Menteri Luar Negeri Pakistan, Bilawal Bhutto Zardari, memperingatkan bahwa jika India terus menggunakan air sebagai alat tekanan, kawasan Asia Selatan berisiko mengalami eskalasi konflik besar-besaran.

Praktik “weaponizing water” ini, di mana sumber daya air dijadikan instrumen tekanan politik atau senjata tidak konvensional, dinilai bertentangan dengan hukum kemanusiaan internasional. Analis geopolitik memperingatkan bahwa jika IWT terus terhenti, Pakistan bisa membawa masalah ini ke Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) atau Mahkamah Internasional (ICJ).


Strategi Penanggulangan Pakistan: Reformasi Internal dan Tekanan Internasional

Menghadapi krisis ini, Komite Penasihat Otoritas Sistem Irigasi (IRSA Advisory Committee) Pakistan menyerukan langkah darurat: penghematan air ketat di semua sektor, penyesuaian alokasi irigasi, dan patroli pengawasan untuk mencegah kebocoran.

Secara diplomatik, Pakistan terus menuntut pemulihan akses data aliran sungai dari India, yang vital untuk perencanaan. Namun, respons domestik juga menuai kritik. Keterlambatan proyek modernisasi infrastruktur air seperti revitalisasi waduk Mangla dan Tarbela, serta saluran distribusi yang uzur menyebabkan kehilangan air hingga 30%. Kurangnya edukasi publik dan eksploitasi air tanah berlebihan juga memperburuk kondisi.

Pemerintah berencana mempercepat pengesahan Rencana Aksi Nasional Konservasi Air, yang mencakup investasi dalam teknologi irigasi presisi, pembangunan waduk mikro, dan diversifikasi sumber air. Namun, tanpa komitmen politik jangka panjang, reformasi tata kelola air, dan kerja sama regional yang stabil dengan India, solusi yang ditawarkan mungkin hanya bersifat tambal sulam di tengah krisis yang semakin sistemik.

Krisis air Pakistan adalah masalah multidimensi yang melampaui isu lingkungan, berubah menjadi persoalan geopolitik eksistensial yang berpotensi memicu kelangkaan pangan, migrasi paksa, dan bahkan konflik bersenjata di Asia Selatan.

Related Post

Lihat Artikel Lainnya