Social Commerce Meledak: Ketika Instagram & TikTok Jadi Mall

Di Karachi, Lahore atau Islamabad, kamu bisa melihat pemandangan yang hampir sama: seorang pebisnis muda dengan ponsel di tangan, sedang melakukan live shopping di Instagram atau TikTok, memamerkan produk, merespons komentar, dan menerima pesanan langsung dalam hitungan menit. Itu bukan sekadar tren, itu adalah gelombang social commerce yang sedang mengguncang Pakistan. Menurut laporan, belanja melalui media sosial melonjak karena penetrasi smartphone yang tinggi dan pengguna aktif media sosial yang mencapai puluhan juta.
Generasi muda Pakistan yang lahir antara akhir 1990-an hingga awal 2000-an menyatu dengan dunia digital, mereka ngerti algoritma, mereka faham hashtag, dan yang penting: mereka tahu bagaimana membuat koneksi emosional lewat layar kecil. Bagi mereka, bukan lagi soal punya toko fisik, tapi punya jangkauan global via WhatsApp groups, Instagram Stories, TikTok reels, hingga WhatsApp Business. Dan karena biaya operasional rendah, mereka bisa mulai dari kamar kos atau garasi kecil, tapi berharap hasil yang besar.
Kenapa Social Commerce “Menang” di Pakistan?
Beberapa faktor membuat social commerce cocok banget untuk market Pakistan:
Pertama, smartphone mode: ketika mayoritas pengguna internet di Pakistan mengakses lewat mobile, maka pasar jual-beli langsung di media sosial menjadi sangat logis.
Kedua, kepercayaan dan komunitas: di dunia sosial media, influencer lokal punya pengaruh besar. Sebuah studi menunjukkan bahwa hingga 61% konsumennya di Pakistan lebih percaya rekomendasi influencer daripada iklan tradisional.
Ketiga, ekosistem start-up muda yang terbuka: pemerintah Pakistan aktif menggalakkan ekonomi digital, dengan kebijakan baru yang menyasar pebisnis muda dan kewirausahaan berbasis sosial media. Contohnya kebijakan e-commerce 2025-30 yang memasukkan segmentasi youth seller secara formal.
Hasil nyata: pasar e-commerce Pakistan mencapai nilai USD 7.7 miliar pada 2024 dengan pertumbuhan tahunan yang signifikan, dan social commerce menjadi bagian penting dari perkembangan ini.
“Mini-Brand” di Media Sosial Pakistan
Ambil satu cerita nyata: Seorang wanita muda di Lahore memulai bisnis aksesori handmade lewat Instagram Live. Tanpa toko fisik, tanpa biaya sewa besar, dia hanya butuh ponsel, koneksi internet, dan kemampuan bicara dengan audiens-nya. Dalam waktu tiga bulan, order-nya meningkat dua-kali lipat, sebagian besar berasal dari TikTok Shopping dan WhatsApp Broadcast.
Dia mengatakan: “Saya dulu takut memulai karena saya hanya punya ponsel dan ide sederhana. Tapi ketika saya mulai berbicara di live, orang menyukai cerita di balik produk saya, dan itu yang membuat mereka membeli.”
Kasus seperti ini bukan pengecualian. Data menunjukkan bahwa di Pakistan, sekitar 63.9% dari toko online aktif memiliki profil media sosial, dan distribusi platform jualan social commerce sangat luas: Facebook ~30.5%, Instagram ~29.6%, TikTok ~10.1%.
Artinya: platform sosial bukan hanya alat promosi, mereka menjadi toko itu sendiri.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Namun, seperti semua gelombang besar, social commerce di Pakistan juga datang dengan tantangan. Sebagian besar pembayaran masih cash-on-delivery, bukan online dari kartu atau e-wallet, yang memperlambat skala dan proses retur. Daya sambung internet juga masih belum merata, terutama di area luar kota besar.
Selain itu, regulasi formal untuk penjual muda masih dalam proses, misalnya, kebijakan e-commerce 2025-30 yang baru saja dirilis bertujuan memasukkan seller muda ke sistem formal, namun implementasi di lapangan masih butuh waktu.
Dengan tantangan-ini ada pula peluang besar: bagi yang bisa menavigasi proses pembayaran digital, logistik, dan membangun kepercayaan di media sosial, masih banyak ruang untuk tumbuh.
Dari Layar Kecil ke Panggung Dunia
Gelombang social commerce di Pakistan bukan sekadar tren digital, ia adalah revolusi sosial-ekonomi yang dimotori oleh generasi muda penuh ide dan keberanian. Dari live shopping sederhana di Instagram hingga brand lokal yang viral di TikTok, semuanya menunjukkan bahwa Pakistan sedang menulis bab baru dalam sejarah kewirausahaan digitalnya.
Anak muda di Karachi, Lahore, dan Islamabad kini tidak menunggu peluang datang, mereka menciptakannya. Mereka menjual produk, membangun narasi, dan mengekspor budaya lokal lewat layar ponsel. Dari produk handmade, modest fashion, hingga makanan rumahan, setiap bisnis kecil membawa pesan besar: bahwa kreativitas, kepercayaan, dan komunitas bisa menggantikan modal besar.
Dan dengan dukungan kebijakan digital yang makin progresif serta konektivitas yang terus meningkat, Pakistan kini berada di jalur yang sama dengan ekonomi digital global seperti Indonesia dan Malaysia. Ini bukan lagi soal “bisa bersaing” — tapi soal “siap memimpin” di dunia social commerce Asia Selatan.



