Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) telah menjadi pondasi utama dalam pemikiran Islam yang moderat dan inklusif. Di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia dan Pakistan, Aswaja berkembang dengan corak khas, mengikuti konteks sejarah, sosial, dan politik masing-masing.
Perbandingan genealogi Aswaja di kedua wilayah ini tidak hanya menarik secara akademis, tetapi juga penting untuk memahami bagaimana tradisi Islam dapat terus hidup dan beradaptasi dengan tantangan zaman.
Apakah ada perbedaan signifikan dalam perkembangan Aswaja di Indonesia dan Pakistan? Atau justru ada benang merah yang menyatukan keduanya? Artikel ini akan membahas genealogi dan dinamika yang memengaruhi perjalanan Aswaja di dua kawasan ini, serta implikasinya bagi dunia Islam modern.
Memahami Ahlussunnah Wal Jamaah: Prinsip dan Fondasinya
Aswaja sebagai mazhab atau paham dipelopori oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagaimana ditegaskan Imam Al Ghazali, “Jika disebutkan Ahlussunnah wal Jamaah maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi.”
Aliran Aswaja dalam bidang akidah atau ubudiyah berkembang menjadi berbagai bidang lain, seperti syariah atau fiqih dan tasawuf. Dalam bidang akidah, Aswaja mengacu pada Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Sedangkan, dalam fiqih atau hukum Islam, Aswaja mengacu pada salah satu dari empat mazhab utama: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, yang berlandaskan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas.
Munculnya Aswaja merupakan respons atas kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama Islam yang lahir akibat perpecahan umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 Masehi. Beberapa golongan ekstrem yang menjadi latar belakang munculnya Aswaja antara lain:
- Rafidhah: Sekelompok penganut Syiah yang menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan) tidak sah.
- Ghulat: Golongan Syiah paling ekstrem yang mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Muhammad kecuali beberapa yang mendukung Ali.
Perselisihan politik yang melanda umat Islam, terutama ketika Muawiyah mendirikan Daulah Umayyah pada tahun 661 Masehi dan mengubah sistem kekhalifahan menjadi monarki absolut, melahirkan semakin banyak kelompok lain di luar Syiah, Sunni, dan Khawarij, seperti Murjiah, Jabbariah, Qodariah, dan Mutazilah.
Lahirnya aliran-aliran ekstrem ini tidak hanya disebabkan oleh persoalan politik internal, tetapi juga dipengaruhi pemikiran dari luar sebagai imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam. Aswaja dipelopori oleh para tabiin dan tabiut tabiin (murid-murid para tabiin), seperti Imam Empat Mazhab, dan selanjutnya dikembangkan oleh generasi berikutnya seperti Imam Abul Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Ciri-Ciri Utama Ajaran Aswaja: Moderasi dan Keseimbangan
Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah atau Aswaja yang patut kita ketahui, yang dapat dikenali dari prinsip dan akhlak terpuji:
- At-tawassuth (Sikap Tengah-tengah): Selalu bersikap pertengahan, tidak ekstrem kiri ataupun ekstrem kanan, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah.
- At-tawazun (Seimbang dalam Segala Hal): Termasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (akal pikiran rasional) dan dalil naqli (Al-Qur’an dan Hadis).
- Al-i’tidal (Tegak Lurus): Berpegang teguh pada keadilan, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah: 8: “Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Selain ketiga prinsip ini, Aswaja juga mengamalkan sikap tasamuh (toleransi), yaitu menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama, tanpa mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Thaha: 44: “Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa dan Nabi Harun) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut.”

Sejarah dan Perkembangan Aswaja di Indonesia
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam penerimaan Islam, yang sebagian besar terjadi melalui jalur perdagangan dan dakwah damai. Peran Hijaz (Makkah dan Madinah) sangat dominan dalam penyebaran Aswaja di Nusantara. Banyak ulama Nusantara yang belajar di Hijaz dan kembali membawa ajaran Islam dengan metode yang lebih membumi, menyesuaikan dengan budaya dan tradisi lokal.
Nama-nama seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Mahfudz At-Turmusi, dan Syekh Yasin Al-Fadani adalah contoh bagaimana ulama Nusantara berkontribusi dalam memperkuat Aswaja. Mereka tidak hanya membawa ilmu ke Indonesia tetapi juga berperan aktif dalam lingkungan akademik Hijaz, menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat intelektual Islam yang dihormati di dunia.
Selain itu, terbentuknya Komite Hijaz dan Nahdlatul Ulama (NU) pada awal abad ke-20 merupakan bentuk konkret dari komitmen ulama Nusantara dalam menjaga Aswaja dari ancaman modernisme dan puritanisme yang berlebihan. Organisasi ini lahir sebagai upaya mempertahankan tradisi Islam yang berakar pada mazhab empat (Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali) dan ajaran tasawuf yang menyeimbangkan aspek spiritualitas dan hukum Islam.
Sejarah dan Perkembangan Aswaja di Pakistan
Islam mulai tersebar di Asia Selatan melalui jalur perdagangan sejak masa awal peradaban Islam di Arab. Sejak abad ke-7, wilayah Sindh diperintah oleh gubernur Arab di bawah kekuasaan dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Islam terus berkembang di Asia Selatan melalui kekuasaan Dinasti Ghaznawid (1004 M–1186 M) dan kemudian diperkuat oleh Kesultanan Delhi (1206 M–1526 M).
Pada masa tersebut, Islam bukan satu-satunya agama yang berkembang di Asia Selatan. Gerakan Bhakti, yang berasal dari Hinduisme, masih memiliki pengaruh besar karena popularitas ajaran mistiknya. Menariknya, praktik dan sudut pandang teologi dalam Gerakan Bhakti memiliki kesamaan dengan Sufisme dalam Islam, sehingga sering kali perbedaan antara umat Hindu dan Muslim menjadi kabur.
Dalam sejarah Islam di Asia Selatan, ajaran Sufisme berperan penting dalam proses dakwah dan membantu asimilasi budaya Hindu-Islam di bawah pemerintahan Kesultanan Delhi. Para tokoh Muslim membangun budaya yang bersifat sinkretis, mendorong toleransi, dan menghargai keberadaan non-Muslim.
Wali Sufi memainkan peran besar dalam membentuk stabilitas sosial, menciptakan literatur berbahasa lokal, serta mengembangkan musik religius. Salah satu figur utama dalam penyebaran ajaran ini adalah Saiyid Muhammad Ghaus Gwaliori, seorang mistikus Sufi yang memperkenalkan praktik yoga ke dalam tradisi Sufi Islam.
Meskipun hubungan antara para wali Sufi, yogi Hindu, dan kaum Bhakti Brahman sempat menciptakan harmoni, perbedaan teologis tetap ada. Para Sufi Sunni datang ke wilayah ini dan mendirikan berbagai tarekat, mengajarkan ajaran spiritual yang menekankan penyucian jiwa melalui tokoh-tokoh seperti Baba Farid, Moinuddin Chisti, Bahauddin Zakariya, dan Nizamuddin Aulia.
Mereka mengajarkan prinsip menjauhi keduniawian, kepercayaan penuh kepada Tuhan, mengutamakan kesatuan umat manusia, membantu yang membutuhkan, menghindari hubungan dekat dengan penguasa, serta mengembangkan sikap tanpa kompromi terhadap penindasan.
Puncak dominasi Islam di Asia Selatan terjadi di bawah Kesultanan Delhi. Kesultanan ini berhasil membangun pemerintahan Muslim yang kuat dan memperluas pengaruh Islam ke seluruh wilayah. Pada masa ini, ilmu keislaman, khususnya ilmu fiqh, berkembang pesat dan menjadi fondasi utama pendidikan agama.
Para penguasa Kesultanan Delhi menganut mazhab Hanafi, yang kemudian menjadi landasan hukum dalam pemerintahan mereka. Mereka mendirikan madrasah sebagai pusat pendidikan mazhab Hanafi dan mendukung produksi karya-karya fiqh berpengaruh seperti al-Fatāwā al-Ghiyāthiyyah, Fawāid Firozshāhī, dan Fatāwā Tātārkhāniyyah.
Dua tokoh yang memiliki peran besar dalam perkembangan Aswaja di Asia Selatan (termasuk Pakistan) adalah Ahmad Sirhindi dan Shah Waliullah Dehlawi, yang masing-masing memainkan peran kunci dalam mempertahankan ajaran Islam yang berpegang teguh pada sunnah dan menolak pengaruh asing yang dianggap menyimpang.
Persamaan dan Perbedaan Genealogi Aswaja di Indonesia dan Pakistan
Secara umum, baik Indonesia maupun Pakistan memiliki akar yang sama dalam perkembangan Aswaja, yaitu perpaduan antara fiqh mazhab empat dan ajaran tasawuf. Meski demikian, terdapat beberapa perbedaan mendasar yang membentuk karakteristik unik masing-masing wilayah.
Pengaruh Eksternal:
- Di Indonesia, pengaruh Hijaz (Makkah dan Madinah) sangat kuat, menciptakan wajah Islam yang moderat dan inklusif dengan adaptasi budaya lokal.
- Di Pakistan, perkembangan Aswaja lebih banyak dipengaruhi oleh Kesultanan Delhi dan interaksi dengan tradisi Hindu-Bhakti serta Sufisme, menghasilkan dinamika yang lebih kompleks.
Struktur Organisasi:
- Di Indonesia, keberadaan organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) berperan penting dalam menjaga tradisi Aswaja secara kolektif dan aktif dalam berbagai aspek kehidupan sosial-politik.
- Berbeda dengan Indonesia, di Pakistan, Aswaja lebih sering berkembang dalam bentuk tarekat dan kelompok intelektual, membentuk pola keberagaman Islam yang lebih individualistis.
Meskipun memiliki jalur perkembangan yang berbeda, esensi Aswaja di kedua wilayah tetap konsisten dalam menegakkan keseimbangan dalam beragama serta menolak segala bentuk ekstremisme. Prinsip-prinsip moderasi yang menjadi inti Aswaja terus dijaga dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Tantangan Modern dan Masa Depan Aswaja
Saat ini, Aswaja di Indonesia dan Pakistan dihadapkan pada tantangan serius dari berbagai arah:
- Dominasi Media Sosial: Sering memperkuat polarisasi, mendorong puritanisme yang kaku atau liberalisme ekstrem yang melemahkan fondasi tradisi keislaman.
- Politisasi Agama: Memperdalam perpecahan di kalangan umat Islam, di mana politik identitas sering mengabaikan prinsip utama Aswaja tentang tasamuh dan persatuan.
- Ideologi Transnasional: Berusaha menggantikan Aswaja dengan sistem yang lebih rigid dan tidak sesuai dengan budaya lokal, mengikis fleksibilitas dan adaptasi.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, Aswaja harus tetap teguh pada prinsip-prinsip dasarnya sambil merespons perubahan zaman dengan pendekatan yang bijak. Ulama dan cendekiawan Muslim memiliki peran penting dalam menjaga ajaran ini agar tetap relevan dan dapat menjawab kebutuhan masyarakat modern tanpa kehilangan akar tradisinya.
Untuk menjaga eksistensi Aswaja, ulama dan cendekiawan Muslim harus aktif dalam menyampaikan Islam yang moderat dan tetap relevan dengan kebutuhan zaman. Pendidikan, dakwah digital, dan keterlibatan dalam diskursus akademik menjadi kunci dalam mempertahankan Aswaja di tengah arus perubahan global.
Genealogi Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia dan Pakistan menunjukkan bahwa Islam yang moderat dan berakar pada tradisi tetap memiliki daya tahan dalam menghadapi tantangan zaman. Meskipun berkembang dalam konteks yang berbeda, keduanya tetap berpegang pada prinsip utama Aswaja: keseimbangan, keadilan, dan toleransi.
Di tengah gempuran berbagai ideologi, memahami sejarah Aswaja menjadi penting agar kita tidak tercerabut dari akar tradisi yang telah menjaga Islam tetap inklusif dan relevan. Dengan memahami dan merawat warisan ini, kita dapat membangun masyarakat Islam yang lebih harmonis dan berdaya dalam menghadapi tantangan masa depan.
Referensi:
- A Fatih, Syuhud. (2019). Ahlussunnah Waljamaah, Islam Wasathiyah Tasamuh Cinta Damai. Malang: Pustaka al-Khoirat.
- al-„Aql, Nasir Abdul Karim. (1412 H). Mabahits fi „Aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. T.tp.: Dar al-Wathan.
- Ali, S.A. (1981). Islamic History and Culture: Islamic Culture under the Moghuls. Delhi: Amar Prakashan.
- Eraly, Abraham. (2005). The Mughal Throne: The Saga of India’s Great Emperors. London: Phoenix Publisher.