Fenomena Sound Horeg, Jadi Ekstase Sonik atau Gangguan Publik?

Fenomena Sound Horeg, Jadi Ekstase Sonik atau Gangguan Publik?

Bagikan

Daftar Isi

Fenomena sound horeg kini menjadi sorotan publik di berbagai daerah Indonesia. Mengusung sistem audio berukuran raksasa dengan bass menggelegar, sound horeg menawarkan sensasi getaran ekstrem yang tidak hanya terdengar di telinga, tetapi juga terasa di seluruh tubuh.

Dilansir dari Tempo.co, fenomena ini berkembang dari hiburan komunitas menjadi isu nasional karena efeknya yang memicu pro-kontra di masyarakat.

Asal Usul dan Makna “Horeg”

Istilah horeg berasal dari bahasa Jawa yang berarti “bergetar” atau “terasa di tubuh”. Fenomena sound horeg mulai muncul di awal 2000-an di Malang, Jawa Timur, sebelum menyebar ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Awalnya hanya untuk meramaikan hajatan atau acara desa, tetapi kini berevolusi menjadi kompetisi tidak resmi antar komunitas sound system.

Sensasi Audio dan Dampak Kesehatan

Keistimewaan fenomena sound horeg adalah kemampuannya menghasilkan tekanan suara ekstrem, mencapai 120–135 desibel. Ini jauh melebihi batas aman 85 dB yang direkomendasikan WHO, sehingga berisiko menimbulkan gangguan pendengaran permanen, pusing, bahkan efek tekanan fisik pada tubuh. Tempo mencatat, beberapa warga mengeluhkan gangguan tidur dan kesehatan akibat acara sound horeg yang berlangsung berjam-jam.

Hiburan Rakyat yang Menuai Kontroversi

Bagi penggemarnya, fenomena sound horeg adalah bentuk kebebasan berekspresi dan hiburan rakyat yang terjangkau. Suara dentuman bass dianggap bisa menciptakan euforia bersama dan mempererat hubungan sosial. Namun, bagi sebagian masyarakat lainnya, suara ekstrem ini dianggap mengganggu ketenangan, merusak ketertiban umum, dan bahkan mengancam keselamatan publik.

Fatwa Haram dan Respons Pemerintah

MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa haram terhadap fenomena sound horeg karena dianggap membawa mudarat lebih besar daripada manfaatnya. Fatwa ini mempertimbangkan dampak kesehatan, potensi kerusakan moral, dan gangguan terhadap hak masyarakat lain untuk mendapatkan lingkungan yang nyaman. Pemerintah daerah pun mengeluarkan peraturan ketat, termasuk batasan kebisingan, lokasi penyelenggaraan, dan kewajiban perizinan.

Aturan Batas Suara dan Izin Resmi

Beberapa daerah di Jawa Timur menetapkan batas kebisingan maksimal 120 dB untuk sound system statis dan 85 dB untuk sound system bergerak. Penyelenggara juga diwajibkan mengurus izin resmi, menjalani pengujian kendaraan, serta menghindari lokasi sensitif seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah.

Peluang Ekonomi vs. Risiko Sosial

Fenomena sound horeg juga menciptakan peluang ekonomi baru, seperti jasa sewa sound system, event organizer, dan lapangan kerja teknisi audio. Namun, risiko sosial seperti konflik antarwarga, polusi suara, dan gangguan kesehatan tetap menjadi tantangan besar. Tanpa pengelolaan yang baik, potensi ekonominya bisa tenggelam oleh dampak negatif yang ditimbulkan.

Perlunya Edukasi dan Regulasi Berkelanjutan

Para pakar yang diwawancarai Tempo menilai, regulasi saja tidak cukup. Diperlukan edukasi kepada masyarakat dan komunitas sound horeg tentang bahaya kebisingan berlebihan dan pentingnya menjaga kenyamanan publik. Kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan warga menjadi kunci agar fenomena ini bisa berkembang sebagai hiburan yang aman dan tertib.

Kesimpulan

Fenomena sound horeg adalah potret kompleks interaksi antara budaya populer, kebebasan berekspresi, dan kesehatan publik. Di satu sisi, ia menawarkan hiburan khas dengan sensasi unik yang tidak dimiliki pertunjukan lain.

Di sisi lain, fenomena ini menuntut kesadaran bersama untuk menjaga keseimbangan antara kesenangan dan hak publik atas ruang yang aman dan nyaman. Dengan regulasi dan edukasi yang tepat, sound horeg bisa tetap hidup tanpa menimbulkan kerugian bagi masyarakat luas.

Simak berita lainnya hanya di Pakistan Indonesia.

Referensi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *