Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI resmi menjatuhkan sanksi etik kepada tiga dari lima anggota DPR yang sebelumnya dinonaktifkan. Hasil sidang yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025) itu menyebut Ahmad Sahroni, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, dan Nafa Urbach terbukti melanggar kode etik dan dijatuhi sanksi nonaktif selama 3–6 bulan (Detik, 2025).
Sementara itu, dua anggota lain, Adies Kadir dan Surya Utama alias Uya Kuya, dinyatakan tidak bersalah dan dapat kembali aktif sebagai anggota DPR. Putusan ini menjadi sorotan publik karena berkaitan dengan perilaku dan komunikasi publik anggota dewan yang dinilai tidak mencerminkan etika pejabat negara.
Latar Belakang Kasus MKD DPR
Awal Munculnya Dugaan Pelanggaran
Kasus ini bermula dari laporan masyarakat terkait dugaan pelanggaran etika yang dilakukan lima anggota DPR. Laporan tersebut menyoroti perilaku publik yang dianggap tidak pantas, baik di media sosial maupun dalam forum resmi, sehingga MKD memutuskan untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap para anggota dewan tersebut (Antara, 2025).
MKD kemudian melakukan serangkaian sidang tertutup dan terbuka untuk memeriksa bukti serta mendengarkan pembelaan dari masing-masing anggota DPR. Berdasarkan hasil sidang, MKD menemukan bukti kuat terhadap tiga nama, yakni Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach.
Hasil Putusan dan Sanksi MKD DPR
Tiga Anggota Dinyatakan Melanggar
Dalam putusan akhirnya, MKD DPR menjatuhkan sanksi nonaktif selama enam bulan kepada Ahmad Sahroni, empat bulan kepada Eko Patrio, dan tiga bulan kepada Nafa Urbach. Sanksi tersebut juga disertai dengan pembekuan seluruh hak keuangan, termasuk gaji dan tunjangan, selama masa nonaktif berlangsung (CNN Indonesia, 2025).
Dua Anggota Dinyatakan Tidak Bersalah
Sementara itu, MKD menyatakan Adies Kadir dan Uya Kuya tidak terbukti melakukan pelanggaran etik. Dengan demikian, keduanya dapat kembali menjalankan tugas sebagai anggota DPR RI terhitung sejak tanggal putusan dibacakan (Kompas, 2025).
Pertimbangan MKD dan Faktor Peringanan
Dalam sidangnya, MKD menyebut adanya faktor peringanan bagi Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Keduanya dinilai telah menunjukkan itikad baik selama proses pemeriksaan dan mengakui kesalahannya di hadapan dewan etik. Selain itu, MKD juga mempertimbangkan situasi sosial yang turut mempengaruhi tindakan para anggota tersebut saat terjadinya demonstrasi besar pada Agustus 2025.
“MKD mempertimbangkan aspek psikologis dan tekanan publik dalam mengambil keputusan,” ujar Wakil Ketua MKD Adang Daradjatun seperti dikutip dari Antara, 2025.
Dampak dan Reaksi Publik
Putusan MKD ini menimbulkan beragam reaksi. Sejumlah pihak menganggap keputusan tersebut menunjukkan komitmen DPR dalam menegakkan etika politik. Namun, sebagian kalangan menilai hukuman 3–6 bulan terlalu ringan untuk pelanggaran yang mencoreng citra lembaga legislatif.
Pengamat politik dari Universitas Indonesia menilai bahwa kasus ini menjadi momentum bagi DPR untuk memperkuat aturan etik dan transparansi publik. “Jika pelanggaran etik hanya disanksi ringan, efek jera tidak akan tercapai,” ujar analis politik UI, Dina Afrianty, dikutip dari Kompas, 2025.
Selain itu, netizen di berbagai platform media sosial juga menyoroti pentingnya konsistensi penegakan kode etik di lembaga negara. Tagar #SidangEtikDPR sempat menjadi trending di X (Twitter) setelah putusan tersebut diumumkan.
Analisis dan Implikasi Politik
Keputusan MKD DPR bukan hanya menjadi pelajaran bagi para anggota dewan, tetapi juga cerminan penting bagi publik mengenai bagaimana lembaga legislatif menegakkan tanggung jawab moralnya. Sanksi nonaktif, meski terbilang ringan, menunjukkan bahwa MKD berupaya menjaga keseimbangan antara keadilan etik dan stabilitas politik di parlemen.
Dalam jangka panjang, publik berharap agar proses penegakan etik ini tidak berhenti pada sanksi sementara, melainkan berlanjut menjadi reformasi perilaku di internal DPR.
Hasil sidang MKD DPR RI yang menjatuhkan sanksi kepada Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach menandai langkah serius DPR dalam menjaga marwah lembaga legislatif. Namun, putusan ini juga menjadi pengingat bahwa etika publik harus menjadi fondasi utama bagi setiap wakil rakyat.
Untuk mengetahui perkembangan terbaru politik dan kebijakan nasional, ikuti terus berita terkini hanya di PakistanIndonesia.com. Baca juga berbagai ulasan menarik lainnya tentang politik, hukum, dan isu publik terkini.
Referensi:




