Asal usul warna merah dalam wastra Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh budaya Tiongkok yang telah berinteraksi dengan Nusantara sejak berabad-abad silam.
Warna merah, yang dalam budaya Tiongkok melambangkan keberuntungan, kebahagiaan, dan kemakmuran, masuk ke dalam kosakata visual dan simbolik kain-kain tradisional Indonesia melalui proses panjang akulturasi budaya.
Sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit, hubungan perdagangan antara Tiongkok dan wilayah Nusantara begitu erat.
Pedagang Tiongkok membawa kain sutra, motif, dan tentu saja pengaruh warna salah satunya merah menyala yang kemudian melekat dalam kain tradisional seperti batik pesisiran, songket Palembang, hingga tenun di Kalimantan.
Warna Merah dalam Budaya Tiongkok dan Maknanya
Dalam tradisi Tiongkok, merah adalah warna utama dalam perayaan besar seperti Tahun Baru Imlek, pernikahan, dan peristiwa penting lainnya. Warna ini diyakini mampu menangkal roh jahat dan mendatangkan rezeki.
Ketika komunitas Tionghoa bermigrasi dan menetap di wilayah Indonesia seperti pesisir utara Jawa, pengaruh simbolisme ini secara alami meresap ke dalam seni dan budaya lokal, termasuk wastra.
Integrasi Merah dalam Batik Pesisiran
Batik pesisiran khususnya dari Pekalongan dan Lasem menjadi contoh nyata dari integrasi budaya Tiongkok. Warna merah yang kuat dan motif-motif seperti bunga teratai, burung phoenix, serta naga, mencerminkan pengaruh Tiongkok yang menyatu dalam estetika lokal. Lasem bahkan dikenal sebagai “Kota Batik Merah” karena kuatnya warna merah dalam batik-batiknya.
Menariknya, warna merah dalam batik Lasem seringkali menggunakan teknik pewarnaan tradisional dengan bahan alam, seperti akar mengkudu, yang menghasilkan warna merah tua atau merah darah khas.
Warna Merah dalam Kain Adat Lainnya
Selain batik, wastra dari daerah lain seperti songket Palembang dan tenun Kalimantan juga menyerap warna merah dalam penggunaannya. Songket Palembang, misalnya, kerap menggunakan benang emas dan dasar warna merah untuk menunjukkan status sosial dan kemakmuran, terutama saat acara pernikahan dan adat istiadat kerajaan.
Demikian pula dalam kain Dayak Kalimantan, warna merah juga sering ditemukan sebagai lambang kekuatan dan perlindungan dari roh jahat sebuah nilai yang sangat mirip dengan filosofi warna merah di Tiongkok.
Akulturasi Budaya yang Memperkaya Wastra Indonesia
Akulturasi budaya antara Tiongkok dan Indonesia tidak hanya terjadi dalam perdagangan, tapi juga dalam seni, kepercayaan, dan gaya hidup. Warna merah menjadi contoh konkret bagaimana elemen budaya asing bisa menyatu dengan budaya lokal tanpa menghilangkan jati diri aslinya. Justru, perpaduan ini memperkaya nilai estetika dan simbolik dari wastra Indonesia.
Pengaruh Tiongkok juga bisa terlihat dari motif, teknik membatik, bahkan cara memadupadankan warna dan bentuk pada busana tradisional.
Warna Merah sebagai Simbol Akulturasi Budaya
Asal usul warna merah dalam wastra Indonesia bukanlah sekadar pilihan estetika, melainkan hasil dari proses panjang akulturasi budaya, terutama dari pengaruh budaya Tiongkok.
Mau tahu lebih banyak tentang sejarah dan makna di balik kain tradisional Indonesia?
Kunjungi artikel-artikel Pakistan Indonesia lainnya dan temukan keindahan warisan Nusantara yang sarat makna.
Bagikan juga artikel ini jika Anda mencintai wastra Indonesia dan ingin mendukung pelestariannya.